Cerita Pendamping PKH : Senyum Ibu Supiyati di Balik Derai Air Mata

Mentari pagi menyapa Batu Putuk, mewarnai kelurahan dengan semburat jingga yang hangat. Saya, sang pendamping PKH, bersiap memulai harinya. Di balik senyum saya, terukir rasa haru dan tekad yang membara. Hari ini, saya akan mengantarkan Ibu Supiyati, salah satu KPM PKH, untuk mencairkan bantuan.

Perjalanan menuju bank ditempuh dengan motor tua saya. Di boncengan belakang, Ibu Supiyati terlihat gugup namun penuh harap. Senyum tipis menghiasi wajahnya yang keriput, terukir di antara garis-garis kesusahan. Bagi Ibu Supiyati, bantuan PKH bagaikan pelita di tengah kegelapan, secercah harapan untuk menghidupi kedua anaknya dan suaminya yang sakit-sakitan.

Sesampainya di bank, saya membantu Ibu Supiyati dengan sabar dan telaten. Raut wajah saya dipenuhi empati saat melihat tangan Ibu Supiyati gemetar saat memasukkan kartu ATM. Ketika uang tunai keluar dari mesin, senyum Ibu Supiyati merekah lebar. Air mata haru mengalir di pipinya, membasahi pipi yang telah terukir guratan penuaan.

"Terima kasih," ucapnya lirih, penuh rasa syukur.

Saya membalas senyum Ibu Supiyati, hati saya tersentuh melihat kebahagiaan sederhana itu. Saya tahu betul, di balik senyum itu tersembunyi kisah pilu seorang ibu yang berjuang keras demi anak-anaknya.

Dalam perjalanan pulang, Ibu Supiyati bercerita tentang kehidupannya. Ia menceritakan tentang mesin jahit tua peninggalan orang tua yang menjadi sumber penghasilannya, tentang pelanggan yang sepi, dan tentang jerih payahnya berjualan sayur di pasar untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak-anaknya. Setiap kata-katanya bagaikan pisau yang menusuk hati saya, membuat saya semakin mantap untuk mengabdikan diri membantu keluarga-keluarga seperti Ibu Supiyati.

Sesampainya di rumah, saya disambut hangat oleh istri dan anak-anak saya. Senyum mereka bagaikan energi baru bagi saya, pengingat bahwa saya tidak sendiri dalam perjuangan saya. Istri saya selalu mengingatkan saya untuk selalu bersyukur atas kesempatan yang diberikan untuk membantu orang lain.

Hari itu, saya pulang ke rumah dengan hati yang penuh rasa haru dan syukur. Senyum Ibu Supiyati, meskipun bercampur air mata, menjadi pengingat bagi saya tentang arti kebahagiaan yang sesungguhnya. Kebahagiaan yang datang dari membantu orang lain, dari meringankan beban hidup mereka yang membutuhkan.

Di bawah sinar senja yang mulai meredup, saya menatap Batu Putuk yang indah. Pemandangannya yang menawan tak mampu mengalihkan pikiran saya dari Ibu Supiyati dan keluarga-keluarga lain yang masih berjuang dalam belenggu kemiskinan. Tekad saya semakin kuat untuk terus mengabdikan diri, menjadi lentera harapan bagi mereka yang membutuhkan, seperti mentari pagi yang selalu membawa kehangatan dan secercah harapan baru.